Romantisasi Purwokerto Bikin Tidak Romantis Lagi?
Purwokerto, kota kecil di kaki Gunung Slamet ini dulunya dikenal sebagai
kota transit yang tenang—bukan kota tujuan. Tapi akhir-akhir ini, Purwokerto
mulai naik daun. Banyak yang menyebutnya “kota kecil yang ngangenin”,
“Yogyakarta versi mini”, atau bahkan “permata tersembunyi di Jawa Tengah”. Feed
Instagram penuh foto OOTD di Menara Pandang Teratai, cerita-cerita di Twitter
(sekarang X) tentang ketemu jodoh pas naik BRT Trans Banyumas, sampai vlog-vlog
mellow soal healing di Baturraden.
Semua terasa romantis, manis, syahdu. Tapi... apakah semua ini justru bikin
Purwokerto jadi tidak lagi romantis?
Dari Romantis Menjadi Komoditas
Romantisasi bisa jadi jebakan. Awalnya mungkin niatnya sekadar
mengungkapkan rasa cinta pada tempat kelahiran, atau mengabadikan momen liburan
yang berkesan. Tapi ketika citra romantis itu dijual terus-menerus, kota pun
berubah jadi panggung. Rasanya semua sudut kota harus estetik, harus
instagramable. Bahkan, warung kopi di gang sempit pun kini punya neon sign
bertuliskan “Healing dulu, baru hidup”.
Padahal, daya tarik Purwokerto yang sejati justru ada pada
kesederhanaannya. Pada obrolan receh di angkringan, pada bau tanah selepas
hujan, pada suara kereta malam yang membelah hening. Bukan pada bangunan
kekinian atau spot selfie berlampu LED warna-warni.
Ketika Warga Jadi Penonton
Romantisasi juga sering datang
dari luar. Banyak yang datang ke Purwokerto dan langsung merasa menemukan
"hidden paradise". Tapi mereka tidak benar-benar melihat kehidupan
warganya. Mereka memuja pemandangan sawah, tapi tidak tahu betapa sulitnya
petani lokal menjaga lahan dari alih fungsi. Mereka menikmati angin sejuk
Baturraden, tapi tidak peka dengan keresahan warga soal sampah wisatawan.
Ketika kota hanya dilihat sebagai
tempat yang indah untuk dikonsumsi visual, warga lokal perlahan-lahan
kehilangan tempat dalam narasi itu. Mereka jadi figuran di cerita yang dibangun
untuk konten.
Apa yang Masih Bisa Kita Jaga?
Ini bukan ajakan untuk anti-wisata atau menolak perubahan. Kota harus
berkembang. Tapi mungkin, sudah saatnya kita bertanya: romantisasi ini
sebenarnya untuk siapa? Kalau semua sisi kota harus "dijual", lalu
bagian mana yang bisa kita nikmati tanpa merasa sedang jadi objek foto?
Mungkin romantis sejati bukan tentang kembang api di malam minggu atau spot
foto viral. Mungkin romantis itu ketika kita bisa duduk santai di pinggir
jalan, ngobrol dengan warga, merasakan denyut hidup yang tenang tanpa
dibuat-buat.
Purwokerto akan selalu punya daya tarik—tapi jangan sampai demi terlihat
romantis, ia kehilangan kejujuran dan kehangatannya.
Kalau kamu punya kenangan di Purwokerto yang nggak “instagramable” tapi
tetap berkesan, share di kolom komentar ya. Karena mungkin, justru di situlah
romantis yang sebenarnya tinggal.
Komentar
Posting Komentar