Asal-Usul, Sejarah, dan Filosofi Nopia atau Mino Banyumas: Camilan Unik Mirip Bakpia Jogja


Jika mendengar nama “bakpia”, kebanyakan orang mungkin langsung teringat pada oleh-oleh khas Yogyakarta. Namun, tahukah Anda bahwa di Banyumas juga ada camilan yang mirip dengan bakpia, yaitu nopia dan mino? Meskipun sekilas serupa, nopia dan mino memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh bakpia. Dalam artikel ini, kita akan menggali asal-usul, sejarah, hingga filosofi di balik camilan khas Banyumas yang satu ini.

Apa Itu Nopia dan Mino?

Nopia dan mino adalah camilan khas Banyumas yang berbentuk bulat dengan isian manis di dalamnya. Kulit luarnya terbuat dari campuran tepung terigu, sementara bagian dalamnya biasanya diisi dengan gula merah, kacang hijau, atau varian rasa lain seperti cokelat dan keju.

Perbedaan utama antara nopia dan mino terletak pada ukurannya. Nopia berukuran sebesar kepalan tangan, sementara mino (singkatan dari mini nopia) memiliki ukuran yang lebih kecil, seukuran sekali gigit.

Asal-Usul dan Sejarah Nopia

Nopia memiliki sejarah panjang yang erat kaitannya dengan budaya masyarakat Banyumas. Konon, camilan ini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Awalnya, nopia dibuat sebagai makanan sederhana untuk menemani minum teh. Proses pembuatannya yang unik, yakni menggunakan tungku tanah liat tradisional (disebut tungku nopia), menjadikan camilan ini terasa spesial.

Menurut cerita turun-temurun, resep awal nopia kemungkinan besar dipengaruhi oleh tradisi kuliner Tionghoa. Hal ini terlihat dari kemiripannya dengan bakpia yang juga memiliki adonan tepung dan isian manis. Namun, seiring waktu, nopia berkembang menjadi camilan khas yang mencerminkan cita rasa lokal Banyumas.

Proses Pembuatan Nopia: Seni yang Mengakar

Salah satu hal yang membuat nopia begitu unik adalah cara pembuatannya. Adonan nopia ditempelkan di dinding bagian dalam tungku tanah liat yang panas, mirip dengan cara memanggang roti naan di India. Proses ini memberikan rasa dan tekstur yang khas pada nopia, yakni kulit luar yang renyah dengan sedikit aroma asap dari tungku tradisional.

Proses ini tidak hanya tentang memasak; ia juga mencerminkan seni dan kesabaran. Para pembuat nopia harus memastikan suhu tungku tepat agar camilan matang sempurna tanpa gosong.

Filosofi di Balik Nopia

Nopia bukan sekadar camilan; ia juga memiliki filosofi mendalam yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Banyumas. Bentuknya yang bulat melambangkan keutuhan dan kebersamaan, nilai-nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam budaya Jawa.

Selain itu, nopia yang berisi rasa manis di dalamnya juga dapat diartikan sebagai pengingat bahwa kebahagiaan sejati datang dari dalam diri. Kulitnya yang keras di luar tetapi lembut di dalam mencerminkan bahwa penampilan luar bukanlah segalanya, melainkan hati yang tuluslah yang terpenting.

Nopia vs Bakpia: Apa Bedanya?

Meskipun terlihat mirip, ada beberapa perbedaan mencolok antara nopia dan bakpia:

  1. Tekstur Kulit: Kulit nopia lebih tebal dan renyah dibandingkan kulit bakpia yang cenderung lembut.
  2. Cara Memasak: Nopia dimasak menggunakan tungku tanah liat tradisional, sedangkan bakpia dipanggang dalam oven modern.
  3. Ukuran: Nopia biasanya lebih besar daripada bakpia. Untuk ukuran kecil, mino menjadi versi nopia yang lebih serupa dengan bakpia.

Melestarikan Nopia sebagai Warisan Kuliner Lokal

Di tengah gempuran makanan modern, nopia tetap bertahan sebagai salah satu kuliner khas Banyumas yang memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam menjaga keaslian rasa dan cara pembuatannya.

Upaya pelestarian nopia kini dilakukan oleh banyak pihak, termasuk para pembuat nopia tradisional dan pemerintah daerah yang rutin mempromosikan camilan ini dalam berbagai festival kuliner.

Nopia dan mino bukan hanya camilan khas Banyumas, tetapi juga simbol budaya dan filosofi hidup masyarakatnya. Dari sejarah panjang hingga proses pembuatannya yang unik, nopia mengajarkan kita bahwa sesuatu yang sederhana bisa memiliki makna yang begitu mendalam.

Jadi, jika Anda berkesempatan mengunjungi Banyumas, jangan lupa mencicipi nopia dan mino. Siapa tahu, dari gigitan pertama, Anda bisa merasakan manisnya tradisi yang terjaga hingga kini.

Apakah Anda sudah pernah mencoba nopia? Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Sejarah, Asal-usul, dan Perkembangan Lengger Banyumasan

Purwokerto: Kota Seribu Curug yang Memikat Hati

Mengenal Begalan Banyumasan: Asal-usul, Sejarah, Filosofi, dan Perkembangannya